INDonesia

SEPTEMBER 10, 2021 ▪ OLEH: RAHUL CHATTERJEE, ANANT TIWARI, MANOSHIJ BANERJEE, RAHMATIKA FEBRIANTI, IRA APRILIANTI, YANI PARASTI SIREGAR
COPY EDIT: SITI MUTHMAINNAH (ARTIKEL DALAM BAHASA INGGRIS DITERBITKAN PADA 22 FEBRUARI 2021)

Bertahan di tengah pandemi: Lima wawasan utama dari penelitian “Corner Shop Diaries” di India dan Indonesia

Ishwar Sharma, seorang tulang punggung keluarga, memiliki kafe kecil di sebuah kota di utara India. Sedangkan Alus, seorang ibu dua anak, berjualan di toko kelontong kecil miliknya di Jawa Tengah, Indonesia.

Pandemi COVID-19 yang lantas diikuti oleh “pandemi ekonomi” telah membawa Ishwar dan Alus ke titik yang sama. Malapetaka ini telah memukul usaha keduanya dengan keras.
Pada kasus Ishwar, orang-orang menjadi ragu membeli makanan dan minumannya dengan alasan kesehatan, karena ia menyiapkan dagangannya di tempat. Kesulitan Ishwar masih ditambah lagi dengan keharusan menutup usahanya selama lockdown yang bahkan diperpanjang. Ini artinya jumlah pembeli semakin sedikit, dan ada juga persaingan baru dengan orang-orang yang mudik dari kota besar lalu membuka kafe kecil di lingkungan tempat tinggal Ishwar.

Bagi Alus, pelanggan tokonya—yang kebanyakan adalah petani setempat—kekurangan uang karena penurunan harga hasil panen menjadi salah satu penyebab berkurangnya pelanggan. Lebih jauh lagi, harga sembako naik selama pandemi (contohnya, harga minyak goreng meroket hingga 33% lebih mahal), sehingga para pelanggan toko Alus harus membatasi pembelian mereka atau membeli dulu dan membayar di kemudian hari.

Namun, kedua pemilik usaha kecil ini tetap berusaha bertahan.

Studi MSC tentang dampak COVID-19 pada UMKM di India mengindikasikan bahwa 73% dari usaha yang disurvei melaporkan penurunan datangnya pelanggan. Sementara itu, 75% dari usaha-usaha tersebut melaporkan penurunan pendapatan. Sedangkan di Indonesia, 79% dari UMKM yang disurvei melaporkan kemerosotan dalam volume penjualan sebanyak 50%; dan 51% UMKM melaporkan bahwa mereka tetap beroperasi seperti biasa meski mengalami pengurangan pelanggan yang datang per hari hingga 50% dibanding sebelum pandemi..
Semenjak Oktober 2020, MSC mulai memantau keuangan harian 50 corner shops (toko kecil) dari India dan Indonesia menggunakan metodologi financial diaries. Kami berkolaborasi dengan perusahaan sosial Low-Income Financial Transformation (L-IFT), untuk mengikuti transaksi keuangan harian di toko-toko kecil yaitu usaha retail kecil yang menjual barang kebutuhan sehari-hari dan layanan esensial di daerah pemukiman.

Data keuangan harian dari toko-toko ini memberi pandangan yang menggugah tentang bagaimana mereka bangkit dari hantaman pandemi COVID-19 dan menghadapi tantangan yang ada.

Pada blog ini, kami akan membahas lima wawasan dari data awal penelitian.

1. Di India, pemilik toko barang kebutuhan sehari-hari lebih berhati-hati dan menunda rencana pengembangan toko mereka dahulu.

Varun Singh, ayah dari dua remaja, memiliki toko kecil yang menjual barang kebutuhan sehari-hari di bagian barat laut India. Dia bercerita pada saat wawancara bahwa pendapatan kotornya per bulan adalah 15.000 rupee (~Rp 2,9 juta) sebelum pandemi, lalu menurun hingga 8.000 rupee (~Rp 1,5 juta) per bulan selama pandemi.

Data yang kami kumpulkan pada dua bulan terakhir di 2020 mengindikasikan bahwa situasi usaha Varun belum pulih seperti masa sebelum COVID-19 (lihat Grafik 1).

 
Graphik 1

Varun telah mengoperasikan toko kecilnya dari rumah meskipun dia ingin membeli atau menyewa toko di daerah pasar. Meskipun dalam kesulitan, ia ingin mengembangkan usahanya. Tetapi risiko-risiko keuangan dan kesehatan yang berkaitan dengan pandemi telah meyakinkannya untuk menunda rencana ekspansi dan melanjutkan usaha dari lokasi yang sekarang saja.

Banyak pemilik toko kecil yang menjadi sampel kami berpikiran sama. Walaupun jumlah pembeli yang datang sudah kembali normal, mereka berbelanja lebih sedikit dibandingkan sebelum masa COVID-19. Jadi meskipun penghasilan toko sudah kembali normal secara bertahap, tetapi masih belum seperti biasanya.

Tekanan keuangan dan pengalaman kehilangan orang-orang terdekat membuat pemilik toko-toko kecil harus melindungi diri dari risiko.

2. Di Indonesia, ada banyak toko kecil yang tetap bisa mempertahankan penghasilannya selama pandemi. Beberapa toko bahkan mengalami peningkatan pendapatan.

Hening, seorang ibu muda dengan dua anak, memiliki toko kecil di Jawa Tengah. Ia menjual bahan makanan pokok, minyak goreng, makanan ringan, permen, tembakau dan rokok, obat-obatan, gas, dan mainan. Ia mampu mempertahankan hasil penjualannya bahkan selama pandemi (rata-rata Rp 30 juta per bulan).

Data dari Diary (Grafik 2) mengindikasikan bahwa rata-rata pendapatan kotor Hening per bulan adalah Rp 29 juta. Terlihat penurunan pada November 2020 (minggu ke-7) tapi itu hanya karena Hening harus menutup tokonya selama dua minggu untuk membantu di beberapa acara pernikahan.

Pendapatan toko Hening segera kembali normal—bahkan meningkat—begitu ia kembali berjualan (lihat Grafik 2).

Hening telah mempertahankan pendapatan dari penjualannya selama pandemi dengan beberapa strategi sederhana. Contohnya, ia berhenti menjual pulsa telepon karena banyak pelanggannya sering berpura-pura tidak menerima pulsa tersebut lalu menolak membayar―sehingga Hening yang terpaksa membayar. Karena penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di daerah tempat tinggal Hening tidak seketat di wilayah lain, Hening tetap membuka tokonya seperti biasa, dari jam 6 pagi hingga jam 9 malam setiap harinya. Ia juga menerapkan protokol kebersihan ketika pandemi sedang mencapai puncaknya dengan menyediakan hand sanitizer di luar tokonya. Pembeli bisa menggunakan hand sanitizer tersebut sehingga merasa aman berbelanja.

Lebih jauh lagi, Hening telah mulai mengatur anggaran yang lebih baik untuk usaha dan keuangan pribadinya. Ia juga menggunakan data usahanya untuk memetakan pendapatan dan pengeluarannya dengan lebih baik dan menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung.

Graphik 2

Banyak toko kecil dalam sampel kami menerapkan beberapa strategi sederhana, termasuk mengikuti protokol kesehatan agar pelanggan merasa aman, menambah jam operasional untuk meningkatkan jumlah kedatangan pelanggan, dan mengurangi jumlah pegawai. Toko-toko kecil ini juga menyesuaikan pilihan produk atau servis yang dijualnya, jadi hanya menjual barang-barang yang banyak dicari orang atau menaikkan harga pasar dan tidak lagi menjual barang-barang yang tidak atau kurang menguntungkan.

Berbagai strategi itu telah membantu toko-toko kecil mempertahankan pendapatannya atau bahkan meningkatkan keuntungan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

3. Toko-toko kecil sudah mulai berpikir secara digital.

Di India, banyak pemilik toko kecil, seperti toko obat, tukang cukur, kafe, dan lain-lainnya, menyampaikan kepada kami dalam wawancara bahwa selama pandemi mereka telah menerima pembayaran digital dari pembeli, umumnya melalui PhonePe atau Google Pay. Fenomena ini kebanyakan terlihat di antara pemilik toko (selanjutnya kami sebut diarist) yang lebih muda. Kami juga melihat penggunaan aplikasi pengirim pesan (messenger apps) dan media sosial untuk menawarkan barang-barang dan jasa. Beberapa diarist juga sudah menerima pesanan dari pelanggan mereka melalui WhatsApp.

Di Indonesia, kami bertemu sejumlah diarist yang memanfaatkan akun WhatsApp dan Facebook untuk mempromosikan usaha mereka; kebanyakan dengan tujuan supaya pembelinya tahu ada barang atau layanan apa yang tersedia. Kami juga menemukan bahwa pengusaha mikro menggunakan WhatsApp untuk berkomunikasi dengan pemasok. Beberapa diarist menggunakan situs e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, atau Bukalapak untuk membeli barang dengan harga lebih murah dan menjual produk-produk tertentu, seperti furnitur dari plastik. Hanya dua diarist yang menggunakan pembayaran digital untuk melunasi tagihan melalui ShopeePay, dan membayar pemasok serta menerima pembayaran dari pembeli melalui OVO dan LinkAja. Namun, hal tersebut sudah mereka lakukan selama dua tahun sebelum pandemi.

Banyak diarist yang tertarik menggunakan e-commerce di waktu yang akan datang. Tetapi membagi waktu antara toko fisik dan toko online memerlukan waktu dan energi. Harga data internet juga menjadi faktor yang menyebabkan keengganan mereka untuk menggunakan e-commerce.

4. Agen CICO di India mengalami peningkatan jumlah pelanggan namun pendapatan menurun selama lockdown.

Di antara sampel kami dari India ada tiga agen CICO yang mengatakan bahwa pandemi telah menghantam usaha mereka. Tiga agen CICO ini melaporkan pendapatan bersih bulanan sebesar 38.000 rupee (~Rp 7,3 juta) sebelum pandemi, yang lantas menurun 24% sampai ke angka 29.000 rupee (~Rp 5,6 juta) selama pandemi

Kembalinya orang-orang ke desa (reverse migration), sehingga transaksi pengiriman uang berkurang;
Penarikan tunai dilakukan dalam jumlah kecil, sehingga banyak orang datang tetapi pendapatan tidak naik;
Kekhawatiran akan tidak tersedianya cukup uang tunai selama lockdown, jadi banyak orang menarik tabungan mereka melalui agen bank, sehingga menyebabkan masalah likuiditas bagi para agen;
Karena ada pembatasan mobilitas, agen bank tidak bisa pergi untuk mengambil uang tunai dan menyeimbangkan kembali likuiditasnya, yang akhirnya menghambat usahanya juga.

Graphik 3

Akan tetapi, usaha sudah mulai membaik lagi. Grafik 3 menunjukkan pendapatan bulanan sebesar 40.108 rupee (~Rp 7,7 juta), yang sama dengan masa sebelum COVID-19.

5. Perempuan pemilik toko kecil menghadapi tantangan-tantangan khusus selama pandemi.

Norma sosial dan tanggung jawab untuk mengurus keluarga mendatangkan sejumlah tantangan bagi perempuan yang memiliki toko kecil. Selama peran gender yang tradisional masih berlaku, kami melihat para diarist perempuan berjuang membagi waktu antara mengerjakan tanggung jawab di toko dengan pekerjaan rumah tangga/ domestik yang tidak berbayar (unpaid work).

Seorang responden dari Indonesia mengatakan bahwa dengan ditutupnya sekolah dan anak-anak tinggal di rumah, ia harus berjuang membagi waktu antara tokonya dan anak-anaknya. Bagi responden lainnya, beban tambahan berupa keharusan menambah pendapatan rumah tangga karena suaminya kehilangan pekerjaan, dan memenuhi kewajibannya sebagai pengurus rumah tangga membuat hidupnya sangat tertekan.

Di India, beberapa usaha milik perempuan mengatakan bahwa suami mereka biasanya membantu dalam tugas-tugas yang memerlukan mobilitas, seperti menarik uang tunai, memperbaiki aset usaha, dan membeli stok barang, dan yang lainnya. Tetapi pandemi COVID-19 menimbulkan hambatan karena suami mereka sekarang harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan uang dan tidak bisa membantu usaha istrinya. Sebagai kesimpulan, kami menggarisbawahi bahwa kondisi keuangan dan perpindahan ke praktik digital adalah proses dinamis yang terus berubah-ubah. Survei-survei biasa yang dilakukan sekali-kali saja/ tidak rutin memang dapat menangkap situasinya pada satu waktu, tapi tidak mengungkapkan transisi dan naik turunnya. Sementara itu, dengan menggunakan metode financial diaries yang merekam data secara berkala, penelitian Corner Shop dapat menjembatani kesenjangan pengetahuan ini.

Blog ini bertujuan memperkenalkan proyek Corner Shop Diaries, bagian pertama dari sebuah rangkaian yang akan dipublikasikan secara rutin tahun ini. Kami juga akan menerbitkan wawasan berbasis data secara berkala pada situs web kami, dan memadukan wawasan-wawasan ini dengan rekomendasi yang dapat diterapkan oleh para pengambil kebijakan dan praktisi.

Seri blog ini akan membahas tema yang berbeda-beda, termasuk adopsi pembayaran digital dan e-commerce oleh usaha mikro, produk tabungan dan pinjaman yang mereka butuhkan, dan perubahan perilaku mereka dari waktu ke waktu. Pastikan Anda tetap terus mendapatkan wawasan terbaru dari kami.

WRITTEN BY

Rahul Chatterjee

manager

ANANT TIWARI

manager

Manoshij Banerjee

assistant manager

Rahmatika Febrianti

assistant manager

IRA APRILIANTI

assistant manager

Yani Parasti Siregar

associate